Menolak "PASRAH" Dengan Terjadinya Msibah Di Masjidil Haram


 Musibah bisa bersumber dari alam, dapat juga datang dari kelalaian manusia. Kita harusnya menanggapi serta hadapi dua jenis musibah itu secara berbeda juga.

Beberapa dari kita kerap menyebutkan musibah yang datang dari alam juga sebagai takdir. Kita biasanya menerimanya dengan lapang dada, penuh keikhlasan, serta kepasrahan.

Namun, kita tidak boleh pasrah hadapi musibah yang disebabkan kelalaian manusia. Kita bisa menuntut mereka yang lantaran kelalaiannya mengakibatkan satu musibah terjadi.

Terhempasnya crane ke lantai Masjidil Haram serta mengakibatkan lebih dari 100 jemaah haji tewas serta lebih dari 200 yang lain luka-luka pada Jumat (11/8) jelas musibah yang disebabkan kelalaian manusia. Beberapa korban tewas serta luka-luka itu adalah jemaah haji dari Indonesia.

Benar bahwa badai serta hujan lebat yang datang mendadak sebagai pemicu jatuhnya crane. Tetapi, pertanyaannya, kenapa crane masih tetap terpasang saat musim haji tiba, saat beberapa jemaah haji telah berdatangan ke Masjidil Haram?

Ada sekitar 15 crane untuk pelaksanaan proyek pelebaran ruang masjid sampai 400 ribu meter persegi supaya nanti dapat menampung 2, 2 juta jemaah haji sekaligus.

Tidak dapat dimaklumi sikap pemerintah Saudi yang mau mengejar tujuan penyelesaian proyek pelebaran Masjidil Haram, namun mengabaikan keselamatan jemaah. Insiden itu adalah perpaduan dari kelalaian manusia serta kemelesetan kalkulasi dalam manajemen proyek, kecerobohan teknis, sampai faktor alam.

Siapa juga tidak dapat menumpahkan kesalahan pada keadaan cuaca semata, terlebih menyebutkan tragedi itu adalah suatu takdir semata yang perlu di terima dengan penuh keikhlasan serta kepasrahan. Oleh karenanya, kita tidak bisa pasrah hadapi musibah crane Masjidil Haram itu. Kita menuntut pemerintah Arab Saudi bertanggung jawab atas kecelakaan itu. 
Sedikitnya ada tiga bentuk tanggung jawab pemerintah Arab Saudi. Pertama, menginvestigasi kecelakaan itu.

Kedua, menghukum siapa juga yang bertanggung jawab atas musibah itu. Ketiga, berikan ganti rugi pada keluarga korban baik yang meninggal ataupun luka-luka.

Keluarga korban pasti tidak mempunyai akses langsung untuk menuntut tanggung jawab Arab Saudi. Negaralah, atas nama rakyat jemaah calon haji, yang harus meminta pertanggungjawaban pemerintah Arab Saudi.

Di masa depan, pemerintah Arab Saudi dituntut untuk tingkatkan keselamatan serta kenyamanan untuk jemaah haji. Pasalnya, bukanlah kesempatan ini saja tragedi berlangsung di waktu musim haji. Delapan peristiwa yang juga merenggut nyawa manusia sudah berlangsung sebelumnya.

Insiden paling fatal berlangsung saat jemaah haji berdesakan di terowongan Mina. Sebanyak 1. 426 orang meninggal pada peristiwa 1990. Lalu, pada 1997, tidak kurang dari 340 jemaah haji meninggal disebabkan kebakaran di perkampungan tenda di Mina.

Dari berbagai peristiwa memilukan itu jelas tampak bahwa pengelolaan haji oleh pemerintah Arab Saudi butuh dibenahi, terlebih masalah kenyamanan serta keselamatan. Arab Saudi memanglah mempunyai posisi tawar kuat lantaran beribadah haji cuma dapat diselenggarakan di negaranya.

Tetapi, negara-negara pengirim jemaah haji, terutama Indonesia, tidak bisa tinggal diam. Mereka mesti mendesak, bahkan juga jika memang perlu bekerja bersama dengan pemerintah Arab Saudi untuk merumuskan kualitas pelayanan beribadah haji yang menyangkut semua segi pemanusiaan manusia.
Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment